Minggu, 27 Mei 2012

plagiat,,,mati saja

Pemuda itu tampak gembira. Di depan komputer publik itu wajah tampannya berseri-seri. Sesekali ia mengangguk-angguk saat melihat layar komputer itu. Mouse di tangannya bergerak mengarahkan cursor di layar itu dan memblok tulisan yang terpajang di sana. Dengan lincahnya dia mengkopi tulisan itu dan menempelkannya di sebuah jendela lain. Selesai. Sebagai sentuhan terakhir, ia menuliskan namanya sendiri di akhir tulisan yang dikopinya itu.
“Oke!” serunya dengan suara yang sengaja dibuat gagah. “Posting-an baru selesai! Yeey!”
“Rul, lo udah update blog lagi, ya?” tanya seorang temannya dari komputer sebelahnya.
“Ya iyalah! Secara,  Arul gitu lho!” balasnya.
“Wow! Cerita yang lo pasang keren! Siapa yang nulis, nih?” tanya temannya lagi.
“Alah! Yang begitu nggak penting, Fik. Yang penting nih cerita gue kasih nama gue saja. Beres. Peduli mati sama pengarangnya,” kata Arul dengan ketus.
Afika yang berada di sebelahnya hanya bisa menggeleng. “Ini namanya plagiat, lho, Rul. Nggak takut lo?” tanyanya.
Arul mendelik. “Hellooo,” katanya sambil merentangkan kedua tangannya, “yang ada di Internet milik bersama. Peduli amat kalo ini plagiat. Kalo nggak suka jangan simpan di sana, dong?”
“Terserah lo aja, deh, Rul. Gue cuma ngingetin ada karma. Lo buat orang sakit, lo juga bakal kena nantinya,” kata Afika.
Mendengar teman baiknya masih berceramah, Arul merasa kesal. Ia mendecak. “Udah deh! Bicara yang lain aja! Atau sekalian pergi ke mana, kek! Di warnet gini bisa bosen juga, kali!” Ia beranjak pergi setelah mematikan billing komputernya. Ia bahkan tidak mematikan halaman-halaman yang dibukanya tadi.

Afika yang berada dibelakangnya hanya bisa menghela napas. Ia menutup semua halamannya, mematikan billing dan me-restart komputernya. Sebelum meninggalkan kursinya ia juga me-restart komputer temannya. “Dasar,” keluhnya, “ceroboh banget, sih.”
“Fikkkk! Lo nggak keluar sekarang lo pulang jalan kaki, ya?” teriak Arul dari luar ruko yang disulap menjadi warnet itu.
“Iya! Tunggu!” balas Afika. Ia bergegas mengambil tas kecilnya dan berlari meninggalkan ruangan itu.
Saat mereka telah pergi, komputer yang digunakan Arul memunculkan sebuah pesan begitu proses Restart-nya selesai.
PLAGIAT HARUS MATI!
Pesan itu hanya muncul sebentar, lalu layar komputer itu kembali menampilkan halaman depan billing. Seorang anak kecil mendatangi komputer itu dan tanpa menunggu lama memakainya untuk bermain game online.
***
“Rul, ada yang komen di blogmu tuh,” kata Afika saat istirahat sekolah.
Apaan?” balas Marlinda.
“Ehem. Serius lo mau denger?”
Arul mengangkat kedua alisnya. “Bukannya lo yang pengen ngasih informasi ke gue?”
Afika tampak ragu sejenak. Dengan pelan ia menyampaikan isi komentar itu pada temannya. “Plagiat harus mati. Tulisannya gitu, semua dalam huruf kapital, tepat di bawah posting yang kemarin.”
Arul mendecak. “Ah, yang begitu lo percaya, Fik… Fik. Percuma jadi juara kelas deh, kalo ternyata lo percaya ancaman macam gitu.”
“Tapi kalo memang bener? Lo  bisa mati, Rul,” kata Afika dengan nada khawatir.
Lo  kebanyakan baca urban legend di internet, Fik. Logika aja, ya? Yang punya cerita nggak bakal bisa ngetrack siapa yang punya blog itu. Anonymous is the best part of Internet. Kedua, yang mengancam seperti itu paling orang sirik. Subscriber blog gue bakal bela gue,” kata Arul dengan bangga.
“Apa? Sirik? Sama plagiatisme yang lo buat?” Afika menggeleng, “nggak ada dalam bayangan gue. Sumpah.”
Arul tiba-tiba menggeberak mejanya dan berdiri. Anak-anak SMA lain di kelas itu serentak menoleh ke arahnya. “Lo pikir lo siapa bisa bilang gitu sama gue. Lo udah buat apa, hah! Gue punya blog terkenal dengan ribuan Subscriber! Gue eksis dan lo cuma kutu buku yang beruntung berteman sama gue!” teriaknya ke muka Afika.
Afika hanya menghela napas panjang. “Terserah lo aja, Rul,” katanya sambil berbalik meninggalkan Arul. Saat ia berada di ambang pintu kelas, Marlinda berteriak keras kepadanya.
“Afika! Lo, gue, END!”
Afika tidak menoleh. Ia terus berjalan menuju kelasnya sendiri. Lonceng jam pelajaran baru sudah berbunyi.
***
Seminggu sudah Afika tidak melihat sosok Arul di sekolah mereka. Bukan hanya karena mereka bertengkar hebat, tetapi sejak hari itu Afika mendadak terkena sakit parah yang memaksanya rawat inap di rumah sakit. Saat ia bertanya pada temannya di kelas lain, ia baru tahu apa yang terjadi pada Arul.
“Serius lu belum denger kabar Arul, Fik?” tanya salah seorang temannya.
Afika menggeleng. “Udah seminggu kita nggak ketemuan. Ditelepon juga nggak ada yang balas.”
“Masuk akal, sih. Lu di rumah sakit, kan? Begini,” temannya menghela napas sejenak, “Arul sekeluarga meninggal, Fik.”
“Hah!? Serius!?” sahut Afika tidak percaya.
“Mereka meninggal dengan cara yang… yah… sedikit aneh,” lanjut temannya.
“Bagaimana caranya? Mereka dibunuh, gitu?”
Nggak juga, sih. Tapi… tidak wajar saja. Arul meninggal dengan kepala masuk ke dalam komputer pribadinya. Masalahnya pintu kamarnya tertutup dari dalam. Terus orang tua mereka meninggal dalam keadaan kaku sambil menunjuk ke arah pintu dengan muka ketakutan. Pintu kamar mereka juga tertutup dari dalam,” jawab temannya. Temannya itu berjalan meninggalkan Afika sendirian setelah mengatakan itu. Kaki Afika seketika lemas. Meski ia tidak begitu suka dengan kebiasaan plagiat temannya itu,Arul  tetap saja temannya sejak kecil. Untuk mereka berdua yang sama-sama anak tunggal, keberadaan mereka bagaikan saudara untuk yang lainnya.
Sepanjang hari Afika tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajarannya. Kepalanya pusing. Akhirnya ia meminta izin untuk pulang lebih cepat. Dalam perjalanan pulangnya ia melewati warnet yang mereka datangi saat itu. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Warnet itu tidak punya papan nama, dan hanya sedikit orang yang masuk ke sana. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam warnet itu. Komputer yang dipakainya adalah komputer yang dipakai Arul saat itu. Ia menyalakan komputer itu, dan layar komputer itu menunjukkan sebuah pesan yang membuatnya ketakutan setengah mati.
“PLAGIATOR KESERIBU TELAH MATI! ARUL TELAH DUHUKUM! MISI SELESAI!”
Saat ia melihat pesan itu, Afika merasa bulu kuduknya berdiri. Ia kembali ingat komentar yang diberikan seseorang di blog Arul secara anonim. Ia melihat sekelilingnya. Orang-orang yang berada di tempat itu menatapnya dengan tatapan aneh. Mereka tersenyum. Senyuman itu membuat tulang belakangnya menjadi dingin. Tanpa menunggu waktu lama ia segera meraih kembali tasnya dan berlari meninggalkan warnet itu.
***
Tiga hari berlalu sejak kejadian di warnet itu terjadi. Afika memberanikan diri untuk berjalan di depan warnet itu lagi. Tetapi saat ia melintas di jalan itu, yang ditemukannya adalah sebuah gedung ruko tua yang nyaris hancur. Seorang penjual bakso keliling berhenti saat melihat Afika menatapi gedung itu tanpa bergerak.
“Sebaiknya jangan dilihat seperti itu, Mbak,” kata penjual bakso itu.
Afika menoleh. “Memangnya kenapa, Bang?”
“Ruko ini seram. Bahkan saat siang seperti ini. Konon dulunya warnet yang besar. Tapi suatu waktu ada kebakaran hebat, dan karena kejadiannya subuh tidak ada yang sadar. Besoknya baru ada yang tahu kalau di dalamnya ada lima mayat. Empat orang pemuda dan satu orang bocah laki-laki. Mereka suka sekali bermain game. Mereka juga suka sekali menulis. Dan mereka sangat tidak suka sama… apa, ya? Ah! Plagiat!” kata penjual bakso itu.
Afika seketika mengingat siapa-siapa saja yang dilihatnya di dalam warnet itu sejak ia pertama kali datang bersama Arul di tempat itu. Seorang anak laki-laki yang selalu tampak sibuk dengan komputernya, seorang penjaga warnet, dan tiga orang mahasiswa. Dan mereka semua menatap Arul  dengan dingin. Afika kembali merasakan tubuhnya dingin, meski di sekitarnya panas matahari membakar bumi.
“O – oh, begitu, ya, bang?” kata Afika.
“Iya, Mbak. Ah! Saya juga lupa. Ada satu lagi yang jadi korban di sana,” kata penjual bakso.
“Si – siapa, Bang?” tanya Afika dengan ragu. Ada firasat jelek yang dirasakannya.
Benar saja. Penjual bakso itu tersenyum dengan senyum yang sama seperti kelima orang yang dilihatnya di dalam warnet itu. Senyum dengan ekspresi dingin bagaikan orang mati. Afika berlari meninggalkan tempat itu seperti kesetanan. Ia menerjang semua yang berada di depannya hingga tiba di rumahnya. Sejak hari itu Afika berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan memasuki warnet tanpa papan nama, atau warnet yang tidak dikenalnya. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi ia tidak akan mencuri karya orang lain.
Ia tidak mau menjadi korban yang keseribu satu.

0 komentar:

Posting Komentar