Pemuda itu tampak gembira. Di depan komputer publik itu wajah tampannya berseri-seri. Sesekali ia mengangguk-angguk saat melihat layar
komputer itu. Mouse di tangannya bergerak mengarahkan cursor
di layar itu dan memblok tulisan yang terpajang di sana. Dengan
lincahnya dia mengkopi tulisan itu dan menempelkannya di sebuah jendela
lain. Selesai. Sebagai sentuhan terakhir, ia menuliskan namanya sendiri
di akhir tulisan yang dikopinya itu.
“Oke!” serunya dengan suara yang sengaja dibuat gagah. “Posting-an baru selesai! Yeey!”
“Rul, lo udah update blog lagi, ya?” tanya seorang temannya dari komputer sebelahnya.
“Ya iyalah! Secara, Arul gitu lho!” balasnya.
“Wow! Cerita yang lo pasang keren! Siapa yang nulis, nih?” tanya temannya lagi.
“Alah! Yang begitu nggak penting, Fik. Yang penting nih cerita gue kasih nama gue saja. Beres. Peduli mati sama pengarangnya,” kata Arul dengan ketus.
Afika yang berada di sebelahnya hanya bisa menggeleng. “Ini namanya plagiat, lho, Rul. Nggak takut lo?” tanyanya.
Arul mendelik. “Hellooo,” katanya sambil merentangkan kedua tangannya, “yang ada di Internet milik bersama. Peduli amat kalo ini plagiat. Kalo nggak suka jangan simpan di sana, dong?”
“Terserah lo aja, deh, Rul. Gue cuma ngingetin ada karma. Lo buat orang sakit, lo juga bakal kena nantinya,” kata Afika.
Mendengar teman baiknya masih berceramah, Arul merasa kesal. Ia mendecak. “Udah deh! Bicara yang lain aja! Atau sekalian pergi ke mana, kek! Di warnet gini bisa bosen juga, kali!” Ia beranjak pergi setelah mematikan billing komputernya. Ia bahkan tidak mematikan halaman-halaman yang dibukanya tadi.
Afika yang berada dibelakangnya hanya bisa menghela napas. Ia menutup semua halamannya, mematikan billing dan me-restart komputernya. Sebelum meninggalkan kursinya ia juga me-restart komputer temannya. “Dasar,” keluhnya, “ceroboh banget, sih.”
“Fikkkk! Lo nggak keluar sekarang lo pulang jalan kaki, ya?” teriak Arul dari luar ruko yang disulap menjadi warnet itu.
“Iya! Tunggu!” balas Afika. Ia bergegas mengambil tas kecilnya dan berlari meninggalkan ruangan itu.
Saat mereka telah pergi, komputer yang digunakan Arul memunculkan sebuah pesan begitu proses Restart-nya selesai.
PLAGIAT HARUS MATI!
Pesan itu hanya muncul sebentar, lalu layar komputer itu kembali menampilkan halaman depan billing. Seorang anak kecil mendatangi komputer itu dan tanpa menunggu lama memakainya untuk bermain game online.
***
“Rul, ada yang komen di blogmu tuh,” kata Afika saat istirahat sekolah.
“Apaan?” balas Marlinda.
“Ehem. Serius lo mau denger?”
Arul mengangkat kedua alisnya. “Bukannya lo yang pengen ngasih informasi ke gue?”
Afika tampak ragu sejenak. Dengan pelan ia menyampaikan isi komentar itu pada temannya. “Plagiat harus mati. Tulisannya gitu, semua dalam huruf kapital, tepat di bawah posting yang kemarin.”
Arul mendecak. “Ah, yang begitu lo percaya, Fik… Fik. Percuma jadi juara kelas deh, kalo ternyata lo percaya ancaman macam gitu.”
“Tapi kalo memang bener? Lo bisa mati, Rul,” kata Afika dengan nada khawatir.
“Lo kebanyakan baca urban legend di internet, Fik. Logika aja, ya? Yang punya cerita nggak bakal bisa ngetrack siapa yang punya blog itu. Anonymous is the best part of Internet. Kedua, yang mengancam seperti itu paling orang sirik. Subscriber blog gue bakal bela gue,” kata Arul dengan bangga.
“Apa? Sirik? Sama plagiatisme yang lo buat?” Afika menggeleng, “nggak ada dalam bayangan gue. Sumpah.”
Arul tiba-tiba menggeberak mejanya dan berdiri. Anak-anak SMA lain di kelas itu serentak menoleh ke arahnya. “Lo pikir lo siapa bisa bilang gitu sama gue. Lo udah buat apa, hah! Gue punya blog terkenal dengan ribuan Subscriber! Gue eksis dan lo cuma kutu buku yang beruntung berteman sama gue!” teriaknya ke muka Afika.
Afika hanya menghela napas panjang. “Terserah lo aja, Rul,” katanya sambil berbalik meninggalkan Arul. Saat ia berada di ambang pintu kelas, Marlinda berteriak keras kepadanya.
“Afika! Lo, gue, END!”
Afika tidak menoleh. Ia terus berjalan menuju kelasnya sendiri. Lonceng jam pelajaran baru sudah berbunyi.
***
Seminggu
sudah Afika tidak melihat sosok Arul di sekolah mereka. Bukan hanya
karena mereka bertengkar hebat, tetapi sejak hari itu Afika mendadak
terkena sakit parah yang memaksanya rawat inap di rumah sakit. Saat ia
bertanya pada temannya di kelas lain, ia baru tahu apa yang terjadi pada Arul.
“Serius lu belum denger kabar Arul, Fik?” tanya salah seorang temannya.
Afika menggeleng. “Udah seminggu kita nggak ketemuan. Ditelepon juga nggak ada yang balas.”
“Masuk akal, sih. Lu di rumah sakit, kan? Begini,” temannya menghela napas sejenak, “Arul sekeluarga meninggal, Fik.”
“Hah!? Serius!?” sahut Afika tidak percaya.
“Mereka meninggal dengan cara yang… yah… sedikit aneh,” lanjut temannya.
“Bagaimana caranya? Mereka dibunuh, gitu?”
“Nggak
juga, sih. Tapi… tidak wajar saja. Arul meninggal dengan kepala
masuk ke dalam komputer pribadinya. Masalahnya pintu kamarnya tertutup
dari dalam. Terus orang tua mereka meninggal dalam keadaan kaku sambil
menunjuk ke arah pintu dengan muka ketakutan. Pintu kamar mereka juga
tertutup dari dalam,” jawab temannya. Temannya itu berjalan meninggalkan
Afika sendirian setelah mengatakan itu. Kaki Afika seketika lemas.
Meski ia tidak begitu suka dengan kebiasaan plagiat temannya itu,Arul tetap saja temannya sejak kecil. Untuk mereka berdua yang
sama-sama anak tunggal, keberadaan mereka bagaikan saudara untuk yang
lainnya.
Sepanjang hari Afika tidak bisa berkonsentrasi dengan
pelajarannya. Kepalanya pusing. Akhirnya ia meminta izin untuk pulang
lebih cepat. Dalam perjalanan pulangnya ia melewati warnet yang mereka
datangi saat itu. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Warnet itu
tidak punya papan nama, dan hanya sedikit orang yang masuk ke sana. Ia
memutuskan untuk masuk ke dalam warnet itu. Komputer yang dipakainya
adalah komputer yang dipakai Arul saat itu. Ia menyalakan komputer
itu, dan layar komputer itu menunjukkan sebuah pesan yang membuatnya
ketakutan setengah mati.
“PLAGIATOR KESERIBU TELAH MATI! ARUL TELAH DUHUKUM! MISI SELESAI!”
Saat
ia melihat pesan itu, Afika merasa bulu kuduknya berdiri. Ia kembali
ingat komentar yang diberikan seseorang di blog Arul secara anonim.
Ia melihat sekelilingnya. Orang-orang yang berada di tempat itu
menatapnya dengan tatapan aneh. Mereka tersenyum. Senyuman itu membuat
tulang belakangnya menjadi dingin. Tanpa menunggu waktu lama ia segera
meraih kembali tasnya dan berlari meninggalkan warnet itu.
***
Tiga
hari berlalu sejak kejadian di warnet itu terjadi. Afika memberanikan
diri untuk berjalan di depan warnet itu lagi. Tetapi saat ia melintas di
jalan itu, yang ditemukannya adalah sebuah gedung ruko tua yang nyaris
hancur. Seorang penjual bakso keliling berhenti saat melihat Afika
menatapi gedung itu tanpa bergerak.
“Sebaiknya jangan dilihat seperti itu, Mbak,” kata penjual bakso itu.
Afika menoleh. “Memangnya kenapa, Bang?”
“Ruko
ini seram. Bahkan saat siang seperti ini. Konon dulunya warnet yang
besar. Tapi suatu waktu ada kebakaran hebat, dan karena kejadiannya
subuh tidak ada yang sadar. Besoknya baru ada yang tahu kalau di
dalamnya ada lima mayat. Empat orang pemuda dan satu orang bocah
laki-laki. Mereka suka sekali bermain game. Mereka juga suka sekali menulis. Dan mereka sangat tidak suka sama… apa, ya? Ah! Plagiat!” kata penjual bakso itu.
Afika
seketika mengingat siapa-siapa saja yang dilihatnya di dalam warnet itu
sejak ia pertama kali datang bersama Arul di tempat itu. Seorang
anak laki-laki yang selalu tampak sibuk dengan komputernya, seorang
penjaga warnet, dan tiga orang mahasiswa. Dan mereka semua menatap Arul dengan dingin. Afika kembali merasakan tubuhnya dingin, meski
di sekitarnya panas matahari membakar bumi.
“O – oh, begitu, ya, bang?” kata Afika.
“Iya, Mbak. Ah! Saya juga lupa. Ada satu lagi yang jadi korban di sana,” kata penjual bakso.
“Si – siapa, Bang?” tanya Afika dengan ragu. Ada firasat jelek yang dirasakannya.
Benar
saja. Penjual bakso itu tersenyum dengan senyum yang sama seperti
kelima orang yang dilihatnya di dalam warnet itu. Senyum dengan ekspresi
dingin bagaikan orang mati. Afika berlari meninggalkan tempat itu
seperti kesetanan. Ia menerjang semua yang berada di depannya hingga
tiba di rumahnya. Sejak hari itu Afika berjanji pada dirinya sendiri, ia
tidak akan memasuki warnet tanpa papan nama, atau warnet yang tidak
dikenalnya. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi
ia tidak akan mencuri karya orang lain.
Ia tidak mau menjadi korban yang keseribu satu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





0 komentar:
Posting Komentar