Senin, 07 Oktober 2013

perempuan sejati dalam pemahaman otak yang kerdil



Malam ini emosi keperempuanan gue tersulut karena melihat beberpa postingan status teman di dunia maya. Postingan tersebut menyuarakan ketidaksetujuan dan penentangan terhadap ajang miss word yang baru – baru saja digelar di Bali.

Well, gini,, Sebelum lanjut ke persoalan kenapa gue merasa keganggu banget oleh post tersebut, gue mau ngelurusin beberapa hal. Satu, gue nggak  mendukung ajang-ajang kecantikan manapun, termasuk Miss World. Dua, gue bukan kesel sama teman gue, tapi lebih ke isi post dan the fact that it’s been spread out so carelessly (yeah,, gue ngomong apaan ini?? Pokoknya maksudnya gitu lah).


Gue critain deh, dalam postingan temen gue tersebut dibilang kalau Miss World itu harusnya diuji urusan masak, nyuci, nyapu, ngepel, nyikat WC, bersihin kotoran bayi, mendiamkan bayi yg nangis, dan melayani suami karena itu baru namanya perempuan sejati. Lalu ada tambahan, kalau cuma foto, bergaya, centil, memamerkan badan, senyum, dan melambaikan tangan, topeng monyet juga bisa.
nah bagi orang yang sentimental kayak gue,, ini postingan terlalu banget, sungguh terlalu guys,, dih gak nyangka sesempit itu arti dari “perempuan sejati”.


Nah sebagai perempuan nih ya, Gue emosi baca post tersebut masih ada aja yg sembarangan mengasosiasikan pekerjaan rumah tangga sebagai ciri dari perempuan sejati. WTF?
Bukan urusan gue ga mau melakukan semua pekerjaan rumah tangga itu, bukan men,, bukan kayak itu,, and well disadari ato gak dari kecil jug ague udah bias nyapu ngepel kek gitu.

Bukannya  gue protes kalau perempuan itu harus punya karir yg sama dengan laki-laki bla bla bla. Bukan. Cuma gue ga bisa terima sama orang yg masih berpikiran kalau pekerjaan yg lo lakuin sehari-hari adalah identitas diri lo, lebih spesifiknya lagi, gender lo. Perempuan itu manusia, sama seperti laki-laki. Perempuan punya hak memilih apa yg ingin mereka lakukan dalam hidup. Perempuan, lagi-lagi sama seperti laki-laki, juga punya kewajiban untuk mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya.

Contohnya gini deh (walau masih berandai andai)
Nanti klo gue nikah sama orang kantoran, pergi pagi pulang malem karena sebagai sosok pencari nafkah utama dalam keluarga, trus posisi gue sementara Cuma kerja sampingan yang hanya nyita waktu beberapa jam (14-16 jam/minggu)

Logikanya jelas, pekerjaan rumah tangga ya adalah bagian dari tugas gue. Ngurusin makan suami –yg tidak selalu gue yg masak sendiri- juga urusan gue. Gimana ga? Laki gue cape bok dari pagi sampe malem kerja untuk kita berdua, masa iya pulang gue tega ngebiarin gitu aja. Itu orang yg gue sayang banget dan menurut negara sah sebagai tanggung jawab gue loh.

Kalau misalnya nanti kebutuhan gue atau keluarga gue berubah dan gue punya kerjaan kantoran yg menyita waktu gue 40-50 jam per-minggunya, ya solusi untuk keluarga gue jg mungkin akan berubah. Entah itu gue cari pembantu atau bahu-membahu sama suami untuk urusan pekerjaan rumah tangga, atau apapun itu yg sesuai dengan kebutuhan pada saat tersebut.

Intinya, kalaupun nanti gue tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah, hal itu ga terus membuat gue jadi perempuan yg tidak sejati. Karena hal-hal tersebut adalah hanya bagian dari apa yg gue kerjain dan bukan hal yg membentuk diri gue, apalagi mendefinisikan diri gue sebagai seorang perempuan. Manusia (mau laki atau perempuan) itu intinya mengembangkan diri, supaya berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Peran yg kita ambil untuk menjadikan diri kita berguna ya itu pilihan masing-masing orang.

 Jadi kesejatian gue sebagai seorang perempuan dan manusia bukan lagi soal ngelahirin anak, nyuci, ngepel, jadi pengusaha atau kerja kantoran karena itu semua cuma sesuatu yg kita kerjakan untuk memenuhi kebutuhan

Miris rasanya denger orang sembarangan ngomong dan gampang aja nyebarin pikiran-pikiran yg selama ini berusaha dilawan oleh sebagian besar kaum perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar